20 Desember 2022
Jadi inget ucapan Om Bud, kemarin. Nama aslinya Budiman Hakim tapi kami sering menyapa dengan Om Bud. Beliau adalah seorang story teller, penulis belasan judul buku dan pengagas komunitas menulis The Writers. Saat itu kita sedang ngobrolin cara bikin buku. Kebetulan beliau sudah mengalaminya. Sudah menulis puluhan buku. Jadi bisa mengalir seru.
“Jadi bikin buku itu seperti merobek selaput perawan,” begitu kata Om Bud. Memang seringkali Om Bud memberikan contoh dengan hal-ha yang ekstrrem.
“Om Kenapa analoginya kok selalu ekstrim, “ tukasku.
“Iya analogi yang ekstrim biasanya gampang diiingat orang” jawabnya. “Mengapa saya analogikan membuat buku dengan merobek selaput perawan. Di saat pertama kali membuat buku itu susahnya minta ampun. Namun percayalah, setelah itu engkau akan ketagihan. SetelahnyaEngkau akan begitu menikmati Makanya saya membuat tagline sebelum mati buatlah minimal satu buku. Ini adalah trigger. Sebuah harapan setelah satu buku keluar atau terbit, saya yakin akan disusul buku-buku berikutnya”.
Ada dua jenis buku bila dilhat dari cerita dan penulisannya. Yang pertama adalah buku dengan tema yang konsisten dan panjang. Buku dengan tema ini contohnya novel. Buku jenis ini memerlukan energy yang luar biasa besar dalam pengerjaannya. Dalam gaya menulis ini, kita harus bisa mengambarkan tokoh secara konsisten. Alur yang runtut. Waktu yang berurutan serta karakter tokoh yang terjaga baik. Metode ini bagi penulis pemula memang agak berat. Tidak heran bila sedikit orang yang mau masuk dalam area ini.
Yang kedua adalah buku dengan gaya penulisan bunga rampai atau kompilasi cerita pendek. “Jadi biar nggak terlaku berat, bikin dulu tulisan-tulisan pendek di website the writers, misalnya. Setelah kita punya kisaran 30 tulisan bisa dikumpulkankemudian dilayout jadi satu buku, “ begitu tips Om Bud yang diberikan bagi penulis pemula.
Untuk menjadi sebuah buku yang nyaman digenggam, memang diperlukan sekitar 100 halaman A4 program MS Word. Yah… dikira-kira saja. Bila tulisan pendek kita sekitar 3-4 halaman MS word, berarti butuh 30 cerita. Bila kurang dari itu, berarti perlu 40 atau 50 tulisan pendek. Baru bisa menjadi satu buku yang tidak terlalu tipis.
Biasanya 100 halaman MS Word dengan spasi 1,5, bila sudah masuk program Desktop Publishing bisa menjadi 170-200 halaman. Ini bisa bertambah lagi bila diberi kata pengantar, endorsement, dan prakata. Belum lagi ditambah halaman prelim, daftar pustaka atau profile penulis. Beberapa buku yang dijadikan sebagi personal branding, halaman belakang ditambah dengan portfolio penulis dan juga foto-foto kegiatannya.
Saya pernah punya pengalaman dimintai melayout sebuah buku dari penerbit nasional. “Mas karena naskahnya tergolong tipis, minta tolong untuk diakali layoutnya, ya. Biar bisa menjadi sekitar 200 halaman. Biar nyaman dipegang dan handy”, begitulah alasan penerbit itu melalui WA ke saya. Dan memang begitulah triknya yang sering yang sering dilakukan oleh penerbit.
Ada banyak cara untuk mengakali layout buku biar menjadi agak tebal. Mulai dari menggunakan white space, margin layout yang agak besar. Kerning ataupun leading typografinya sampai penambahan illustrasi. Semua dilakukan untuk mengejar buku agar jangan terlalu tipis. Tentunya, tanpa mengorbankan kenyaman membaca dan estetikanya didalamnya.
Beberapa minggu lalu, Saya sempatkan main ke toko buku. Selain membaca buku juga seringkali hanya melihat disain bukunya. Beberapa buku yang sempat saya lihat adalah buku dengan tulisan pendek. Tulisan satu paragraph kemudian dipadu dengan grafis yang menarik dan dilayout secara membentang atau spread page. Tampilan bukunya menjadi eye catching. Cakep. Disajikan dalam kemasan pocket book, ukuran buku saku lah kira-kira. Enteng dan mengasyikkan. Dibeberapa toko buku sepertinya sedang menjadi trend.
Kembali lagi ke soal tema buku. Setelah kita memilih dan memilah tulisan-tulisan yang akan masuk kedalam buku. Kemudian kita kelompokan tema-tema yang sesuai atau senada. Bila ternyata hanya ada tiga atau empat kelompok besar., tidak mengapa. Kelompok-kelompok ini kemudian kita ubah menjadi Bab.
“Dan bila antar bab dirasa kurang sesuai atau tidak nyambung, kita bisa kasih bridging, untuk menyambungkan tulisan kita. Bahkan terkadang bridge yang kita tulis malah bisa menjadi bab tesendiri lho…” Begitulah yang diterangkan Om Bud kepada Febri.
Ada juga teknik menabung cerita atau tekhnik menabung ide. Ini juga dipraktikan oleh Kang Maman Suherman. Tujuannya juga sama yakni biar tidak terlalu payah dalam menulis buku. “Bikin saja status di twitter atau social media lainnya dan berikan hashtag. Nah dari hashtag yang sama kita telah mendapatkan pokok pikiran. Dari pokok pikiran kita bisa kembangkan menjadi sebuah paragraph…” Begitu kata Beliau dalam acara bedah buku Menulis Tanpa Ide, beberapa pekan lalu.
Kalau Saya, sih, cuma menyimak obrolan para master itu. Meskipun hanya mendegarkan tapi setidaknya saya merasa berada ditempat yang tepat. Tepat, karena disana banyak virus literasi yang disebarkan..
sumber: www.thewriters.id